Minggu, 27 April 2008

DOA YANG MENGANCAM

DOA YANG MENGANCAM


Oleh Jujur Prananto

"Ya Tuhan, bertahun-tahun aku berdoa pada-Mu, memohon agar Kau lepaskan aku dari kemiskinan yang sekian lama menjerat kehidupanku, tapi nyatanya sampai kini aku tetap miskin dan bahkan bertambah miskin, hingga aku menganggap bahwa Engkau tak pernah mendengar doaku, apalagi mengabulkannya. Karena saat ini aku sudah tak punya apa-apa lagi selain badan dan sepasang pakaian yang kukenakan, aku ingin memohon pada-Mu untuk yang terakhir kali. Kalau sampai Matahari terbit esok hari Engkau tak juga mengabulkan doaku, aku mohon ampun pada-Mu untuk terakhir pula, sebab setelah itu aku akan meninggalkan-Mu."

Itulah doa terakhir Monsera, seorang penduduk miskin yang tinggal di pinggiran Kota Ampari, ibu kota negeri Kalyana. Setelah itu ia menutup pintu rumah tempat tinggalnya, menguncinya dan menyerahkan kunci pada si empunya rumah yang telah berbulan-bulan menagih tunggakan uang sewa padanya.

"Suatu saat saya akan kembali untuk membayar utangku,"

Si empunya rumah cuma tersenyum sinis dan membiarkan Monsera pergi.

Monsera lalu berpamitan pada para tetangga, pemilik warung makan, pemilik toko kelontong, penjual minyak tanah, ialah semua yang berpiutang padanya dengan ucapan sama, "Suatu saat saya akan kembali untuk membayar semua utangku." Dan semua juga membiarkannya pergi tanpa berharap Monsera akan menepati janjinya.

Lelaki berbadan kurus itu lalu meniggalkan ibu kota, berjalan kaki memasuki wilayah berhutan, mencari kelinci, umbi-umbian, dan buah-buahan, untuk bersantap malam, lalu tidur di dahan sebuah pohon besar, menanti datangnya pagi.

Monsera terbangun oleh tetesan embun yang membasahi mukanya, dan setelah itu tak bisa tidur lagi sampai ufuk timur memerah. Ia berdebar-debar menunggu terbitnya Matahari, berharap-harap cemas membayangkan apa yang akan terjadi nanti.

"Apakah Tuhan mendengar doaku? Apakah Tuhan terusik oleh ancamanku?"

Sampai Matahari terbit dan Monsera meneruskan perjalanannya yang tanpa tujuan ini, tak ada kejadian istimewa terjadi. Monsera mulai kesal dan putus asa, tapi terus berjalan meninggalkan hutan dan memasuki padang rumput savana.

Seperti ingin bunuh diri, Monsera menantang teriknya Matahari tanpa berbekal setetes pun air dan menantang dinginnya malam tanpa berbekal selembar pun selimut. Pada hari ketujuh, Monsera tergeletak tanpa daya di atas permukaan rumput. Saat itu hujan turun deras. Kilat berkerjap-kerjap menerangi malam yang gelap. Guntur menggelegar. Seleret petir melesat menukik tajam, menyambar tubuh Monsera.

Paginya, seorang saudagar kuda bernama Sinaro menemukan tubuh Monsera yang hangus dan mengiranya sudah jadi mayat. Sinaro menggali liang kubur, mendoakan Monsera dan menguburnya. Tapi begitu gumpalan tanah mengenai muka Monsera, mulutnya sedikit bergerak. Ternyata Monsera cuma mati suri. Sinaro kaget sekali dan membawa Monsera pulang ke rumahnya di Negeri Salaban.

Setelah sebulan lebih dirawat keluarga Sinaro, luka bakar yang diderita Monsera berangsur sembuh. Kesadarannya berangsur pulih. Monsera mulai bisa berbicara sepatah dua patah kata, tapi masih menderita amnesia. Masuk bulan ketiga barulah ingatannya kembali normal, dan bisa berbincang secara wajar dengan orang-orang di sekitarnya.

Suatu hari Monsera tertarik pada foto lama keluarga ayah Sinaro yang ditaruh di atas almari pakaian. Lama Monsera mengamati foto itu, lalu menunjuk seorang bocah yang ada di situ dan menanyakannya pada Sinaro. "Ini saudaramu?"

Sinaro agak kaget, lalu bercerita dengan perasaan sedih. "Ya, namanya Sridar. Ia hilang waktu ikut perang saudara sepuluh tahun yang lalu. Sampai sekarang tak pernah ada kepastian dia masih hidup atau sudah meninggal."

"Dia masih hidup," kata Monsera penuh kepastian. "Belum lama saya bertemu dia di Rodamar."
Sinaro terperanjat. "Kamu yakin?"

"Saya yakin."

"Tapi itu foto dua puluh lima tahun yang lalu, Monsera. Bagaimana kamu yakin yang kamu temui di Rodamar itu adalah Sridar adikku?"

"Sebaiknya kita sama-sama ke Rodamar. Sridar tinggal di salah-satu perumahan rakyat di pinggiran kota."

Antara percaya dan tidak, Sinaro berangkat ke Rodamar bersama sanak saudara yang lain, mengikuti petunjuk Monsera. Tiga hari dua malam mereka berkuda menyebrangi padang pasir dan berhasil mencapai Rodamar dengan selamat. Dengan mudah Monsera menunjukkan jalan-jalan dalam kota yang harus dilalui, sampai akhirnya menemukan perumahan rakyat yang dimaksud. Dan berhasil menemukan Sridar!

Tak terkira betapa gembira Sinaro dan sanak-saudara lainnya, bisa berjumpa lagi dengan Sridar yang sudah sepuluh tahun mereka anggap hilang ini. Dan tak terkira pula rasa terima kasih mereka pada Monsera yang telah membantu menemukan Sridar.

Belakangan Monsera merasa takut dan heran pada dirinya sendiri, setelah sadar bahwa sebelum ini ia sama sekali belum pernah pergi ke Rodamar. Jadi bagaimana ia bisa tahu seorang bernama Sridar yang belum pernah dikenalnya tinggal di sebuah kota yang belum pernah didatanginya pula?

Sekembali ke rumah Sinaro, Monsera meminjam foto-foto yang lain, mengamati wajah-wajah dalam foto itu. Dalam waktu singkat ia ternyata bisa melihat perjalanan kehidupan orang yang diamatinya bagaikan sebuah film panjang. Melihat Sinaro melamar calon istrinya. Melihat istrinya melahirkan anak pertama. Dan melihat saat ini istrinya sedang berbelanja di pasar.

Tak ayal, kemampuan lebih yang dimiliki Monsera cepat diketahui orang-orang. Mereka berbondong-bondong mendatangi Monsera, menanyakan anak atau ayah atau suami atau sanak saudara mereka yang hilang pada waktu perang saudara. Banyak yang sedih setelah Monsera mengatakan yang mereka cari sudah meninggal. Namun banyak pula yang bergembira seperti Sinaro, berhasil bertemu kembali dengan yang selama ini menghilang entah ke mana. Hadiah berupa uang, emas, maupun barang-barang berharga lainnya, sebagai tanda-terima kasih, mengalir deras ke pundi-pundi Monsera. Sampai akhirnya pemerintah negeri Salaban mendengar pula kehebatan Monsera, lalu mengangkat Monsera sebagai pejabat khusus di kepolisian dengan gaji yang sangat tinggi, dan memberinya tugas melacak para penjahat yang melarikan diri.

Monsera pun menjadi orang yang sangat kaya raya. Dan di tengah-tengah kekayaannya yang melimpah itu, ia merasa dirinya telah berhasil mengancam Tuhan lewat doanya.

Setelah cukup lama berbakti bagi rakyat dan pemerintahan Salaban, Monsera pulang ke negerinya. Yang pertama dilakukannya ialah menemui para mantan tetangga, dan membayar semua piutang mereka. Setelah itu Monsera meninggalkan Kota Ampari, pergi ke sebuah dusun termiskin di negeri Kalyana, menemui ibunya yang selama ini ditinggalkannya begitu saja.

Si ibu yang tua dan renta nyaris tak mengenali Monsera yang gemuk dan bersih.

"Tuhan akhirnya mengabulkan doa saya, Ibu! Bahkan lebih dari sekadar terbebas dari kemiskinan, saya sekarang jadi kaya raya!"

Monsera lalu membawa ibunya pindah ke kota untuk tinggal bersamanya di sebuah kastil termegah dan termahal di Ampari yang sudah di belinya. Kekayaan ibunya yang dibawa dari dusun cuma sebuah tas kecil berisi selembar kain dan foto-foto lama. Monsera membakar kain tua itu dan meminta para pembantunya membelikan lusinan kain sutera sebagai pengganti. Monsera membeli pula bingkai-bingkai emas untuk memasang foto-foto keluarga yang dibawa ibunya.

Monsera tersenyum sendiri melihat sebuah foto ibunya waktu masih muda.

"Cantik sekali," gumam Monsera. Lalu, di luar kehendaknya, kilasan-kilasan gambaran masa lalu mulai berkelebat secara bening dan meyakinkan.

Seorang wanita bernama Lastina berdandan di muka sermin... Malam hari dia berjalan di kaki lima mengenakan pakaian seronok, melambai-lambaikan tangan pada setiap kereta kuda yang lewat, sampai salah satu berhenti dan membawanya pergi... Sekilas nampak Lastina digauli seorang pria... Lalu digauli pria lain di tempat lain pula... Lastina hamil, gagal menggugurkan kandungan, merayu seorang preman jalanan untuk minta dinikahi... Lastina menikah dengan preman itu... Si preman kaget setelah tahu Lastina sudah hamil... Si preman meninggalkan Lastina begitu saja... Lastina melahirkan anaknya... Dan diberi nama Monsera.

"Ini pasti salah! Tak mungkin ibuku seorang pelacur!" Monsera berteriak dalam hati sambil membuang foto-foto di tangannya. Perasaannya terguncang hebat, merasa begitu takut kalau pandangannya benar belaka. "Katakanlah padaku, ya, Tuhan, bahwa pandanganku kali ini keliru."

Namun jawaban dari Tuhan dalam bentuk apa pun tak pernah diterimanya. Dan tetap saja setiap ia melihat foto ibunya, gambaran masa lalu yang kelam itu kembali berkerjap-kerjap. Bahkan kian lama kian benderang sekaligus menjijikkan.

Sampai akhirnya Monsera tak kuat bertahan dan memohon lagi kepada Tuhan. "Aku sungguh bersyukur Engkau telah memberiku rezeki yang melimpah, ya, Tuhan, tapi sekarang tolong bebaskan aku dari keahlianku melihat masa lalu, dan kembalikan aku sebagai manusia biasa."

Setelah sehari, dua hari, seminggu, sebulan Monsera terus berdoa dan berdoa, kemampuan supranaturalnya tak kunjung menghilang. Ia mulai tak sabar dan terucaplah ancaman seperti yang dilakukannya. "Kalau Kau tak juga mengabulkan doaku, ya, Tuhan, aku akan segera meninggalkan-Mu."

Kali ini ia merasa ancamannya pada Tuhan sama sekali tak mempan. Sedikitpun tidak ada perubahan terjadi dalam dirinya. Lama-lama Monsera berpikir, jangan-jangan dengan ancamannya yang pertama dulu Tuhan marah dan lebih dulu meninggalkannya. Kalau memang begitu, segala mukjizat yang diterimanya selama ini bisa jadi bukan anugerah dari Tuhan, melainkan pemberian dari setan.

Maka Monsera pun berkata, "Hai, setan! Jangan kau siksa aku dengan pemberianmu yang justru membuatku menderita. Kembalikan aku seperti manusia biasa! Kalau kau tidak mau melakukannya, aku akan kembali mengabdi kepada Tuhan!"

Seketika hujan turun deras. Kilat berkerjap-kerjap menerangi malam yang gelap. Guntur menggelegar. Seleret petir melesat menukik tajam, menyambar tubuh Monsera.

Paginya, orang-orang menemukan tubuh Monsera yang hangus dan mati suri. Mereka berebut membawa Monsera ke rumah sakit terbaik. Pemerintah pusat menginstruksikan Departemen Kesehatan agar mengerahkan semua dokter ahli di seluruh negeri untuk menyelamatkan aset negara berupa manusia bernama Monsera ini.

Tak lebih dari sebulan Monsera tersadar dari mati surinya. Yang pertama dia lihat adalah seorang perawat jaga bernama Datim yang berwajah sedih. Monsera mengajaknya berkenalan dan bertanya kenapa Datim nampak sangat bersedih.

"Suami saya memohon izin pada saya untuk menikah lagi karena setelah delapan tahun menikah saya tak bisa memberinya anak," jawab Datim.

Monsera terdiam menatap Datim. Tiba-tiba, di luar kehendaknya, kilasan-kilasan adegan berkelebatan seperti biasa dia alami. Kali ini ia melihat Datim muntah-muntah di kamar mandi, lalu bicara dengan dokter yang mengucap selamat atas kehamilannya.

"Kenapa tuan Monsera menatap saya seperti itu?"

"Aku melihat engkau hamil, Datim."

"Ah. Tuan pandai menyenang-nyenangkan perasaan wanita. Kalau dalam benak Tuan terbayang di masa lalu saya hamil, tentulah sekarang saya sudah melahirkan atau malah anak saya sudah besar."

Sekonyong-konyong Monsera menjadi cemas. "Jangan-jangan..."

"Jangan-jangan apa, Tuan Monsera?"

"Jangan-jangan aku melihat sesuatu yang belum terjadi."

Ternyata benar! Seminggu setelah itu Datim muntah-muntah, pergi ke dokter dan dinyatakan hamil. Datim sangat gembira dan menceritakannya pada semua orang. Dalam tempo singkat seluruh warga negeri Kalyana tahu, bahwa sekarang Monsera bukan cuma bisa melihat kejadian yang sudah terjadi di masa lalu, tetapi juga kejadian yang belum terjadi di masa yang akan datang, hanya dengan menatap wajah orang yang akan mengalaminya. Maka berbondong-bondonglah orang mendatangi Monsera, menanyakan masa-depan pekerjaan mereka, jabatan, jodoh, vonis hakim, nomor undian, dan segala sesuatu yang diharapkan atau tidak diharapkan oleh yang bersangkutan. Dan belakangan terbukti, bahwa yang dilihat secara maya oleh Monsera semuanya benar-benar terjadi!

Monsera kewalahan menampung imbalan berupa uang berjuta-juta, emas berkilo-kilo maupun berlian berkarat-karat, sampai ia sendiri tak sempat menghitung, apalagi menikmatinya. Sampai suatu saat ia merasa sangat lelah dan menyempatkan diri beristirahat sesaat, membasuh muka di wastafel, dan menatap wajahnya di cermin. Monsera pun tertegun. Tak lama kemudian muncul kilasan-kilasan kejadian sebagaimana selalu terjadi setiap ia menatap wajah seseorang...

Kali ini yang nampak ialah seorang lelaki kaya raya berwajah letih yang merasa bosan dengan kekayaannya, menyamar sebagai rakyat bersahaja dan lari dari rumahnya sendiri di tengah malam sunyi. Sekelompok penjahat mencegatnya, menodongkan senjata mereka ke tubuh laki-laki ini dan menghardiknya keras.

"Serahkan semua uangmu!"

"Saya tidak bawa uang sesen pun. Semua saya tinggal di rumah. Ambillah sesuka kalian kalau kalian mau."

"Jangan main-main! Serahkan uangmu sekarang juga!"

Laki-laki ini mengulangi jawaban yang sama, hingga para penodongnya marah dan menghujamkan senjata mereka berkali-kali ke tubuhnya.

"Tidaaaak!" Monsera berteriak. "Aku tak mau mati dengan cara begituuu!!!"

Tapi kali ini Monsera tak tahu lagi kepada siapa ia harus berdoa.


Jakarta, 29 Maret 2001
Jejak Tanah, Cerpen Pilihan KOMPAS 2002; Cetakan Kedua Maret 2004; Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2002.

AKU, IKAN YANG BERENANG

AKU, IKAN YANG BERENANG


Oleh Putu Fajar Arcana

Aku merasa kau menggamit tanganku ketika ombak ketiga menggulung kita. Waktu itu samar-samar kulihat kilau perahu terbalik di arah matahari. Tetapi semuanya sudah jauh sekali dari jangkauan. Karena itu, sudahlah, aku memilih jadi bagian dari laut. Kulepaskan gamitan tanganmu, dan aku meluncur ke dasar serupa terumbu. Kelak jika kau ke laut dan bertemu dengan ikan-ikan kecil yang berenang di antara terumbu karang, mungkin itulah aku, kekasih.

Sejak itu aku tak pernah bertemu denganmu. Kadang di antara gerak angin yang mengantarkan riak ke pantai, aku menyusup sekadar melacak jejak tapak kakimu. Tetapi ribuan empasan air dan angin telah lama menghapus jejak itu. Aku cuma ingat di dekat pohon camplung berdaun lebat sebelum gumuk pasir, kita pernah berteduh beberapa saat sebelum memutuskan untuk melaut.

Mudah-mudahan kau ingat pula akulah yang bersikeras mengajakmu melaut di musim angin itu. Padahal kau sudah berulang kali memperingatkan, musim ini tak baik berperahu, apalagi sekadar memuaskan keingintahuan tentang seberapa luas lautan. Kekasih, asal kau tahu, aku tak menyesal kalau kini serupa ikan yang berenang ribuan tahun di samudra. Yang kusesali, aku tak tahu bahwa menjadi bagian dari alam bawah air, sama artinya merentangkan jarak begitu jauh hanya untuk bertemu denganmu. Kesempatan yang diberi alam untuk hidup di sela terumbu ternyata memperlebar janji untuk bertemu. Bukankah aku yang berucap, "Kalau laut, angin, dan langit memberkati, kita mesti bertemu di bawah pohon camplung berdaun lebat ini." Dan kau hanya mengangguk sembari memandang ke cakrawala.

Sungguh aku tak tahu, sudah ribuan tahun berenang serupa ikan, belum juga kutemukan daratan yang memendam jejak dan janji kita. Dari sela karang ini, aku bisa mencium harum tubuhmu yang menyusup di hamparan pasir pantai. Tetapi sebagai ikan harum itu ibarat mata kail yang bisa memerangkapku ke daratan yang asing. Bahkan mungkin aku akan binasa di dasar keterasingan itu. Karenanya, dari kedalaman aku cuma mampu mengirimkan isyarat lewat riak yang berbuih. Kalau kau mendengar angin mendesir dan riak berbuih putih, itulah surat-surat yang kutulis di malam-malam yang dingin dan gelap. Cahaya gemintang dari langit hanya menyentuh permukaan, di mana tak mungkin aku mengapung.

Kekasih, mungkin terlalu jauh untuk kugapai apalagi kupeluk tubuhmu. Aku hanya serupa ikan yang hidup di sela ganggang. sementara kau, uh, sungguh tak bisa kulukiskan serupa apa dirimu sekarang. Sewaktu kita berpisah aku pun sebenarnya tak begitu mengingat lekuk-liku wajahmu. Yang kusimpan pada kenanganku sampai kini, kau tak pernah mengucapkan sepatah kata pun saat perpisahan itu.

***

Sebegitu berartikah secarik kata perpisahan di saat tragedi menggulung kita? Dulu kau selalu berujar begitu. Aku selalu membenarkan ucapanmu, "Sempatkah kau mengucapkan sekadar kata perpisahan pada detik tragedi terjadi?" Kau tetap tidak setuju, aku tahu, karena pada dasarnya engkau tidak setuju dengan perpisahan. Kita bagai satu zat, katamu, yang tak mungkin terpisahkan apalagi sekadar oleh tragedi. Karenanya untuk apa mengucapkan kata perpisahan sementara kita tahu takkan terpisahkan?

Oh, aku ingat sekarang itulah rupanya mengapa kau tak meninggalkan jejak setapak pun di garis pantai. Inikah yang disebut pertemuan kekal, dalam rentang jarak ruang dan waktu yang jauh?
"Bukankah jarak itu yang memisahkan kita selama ini?" tanyaku. Matahari hampir bersandar di bidak para nelayan. Cahayanya menyepuh laut menyerupai lempeng tembaga raksasa.
Kau mengernyitkan dahi sebelum berkata, "Ruang dan waktu hanyalah gumuk pasir, ia akan terkikis oleh angin."

Aku menduga waktu itu, kau hanya mencari cara untuk menyudahi perdebatan kita tentang pertemuan dan perpisahan. Mungkin aku terlalu romantik. Sekali pertemuan terjadi, maka ia akan kekal sampai berkalang tanah nanti. Perpisahan hanya ada apabila jiwamu menolak pertemuan.

Oho, di dasar laut ini kini, aku seekor makhluk yang merindukan pertemuan. Muskil berharap berubah wujud menjadi manusia kembali, apabila itu dikehendaki hanya untuk sekadar pertemuan. Dalam kenistaan wujud, setidaknya yang ada dalam pikiranku, hanya kau yang mampu kuingat, kekasih. Aku sudah lupa bahwa daratan pernah bergetar, dan manusia kelimpungan seperti kawanan ikan yang dituba, ketika dasar laut bergolak. Aku juga sudah lupa ketika begitu banyak manusia diseret gelombang lalu mengambang di atas lautan. Tragedi? Kekasih, hidup di dasar laut tak ada tragedi yang lebih dahsyat daripada tergoda mata kail atau diseret jaring para nelayan. Karena dalam sekejap hidupmu bisa berakhir. Bagi kami, kawanan ikan, waktu dan masa tua bukan halangan melanjutkan hidup.

Mengapa manusia tidak menjadi ikan seperti diriku? Pertanyaan yang absurd. Semacam gelombang yang coba menghanyutkan langit di kejauhan cakrawala. Konon, menjadi manusia jauh lebih mulia dibanding hidup di dasar laut sebagai ikan.

Setidaknya kau tak pernah berhasil menangkap isyarat serta surat-surat yang kukirimkan lewat angin dan riak ombak. Mungkin karena surat-surat yang kukirimkan tak mudah terpahami dari dunia di mana engkau berdiri sekarang ini. Tetapi, sungguh aku tak memahami bahasa lain selain mengirimkan isyarat lewat gelagat ombak.

Hanya saja ketahuilah bahwa surat-suratku berisikan cerita panjang tentang pengembaraan hidup dibawah permukaan. selain menemukan gugusan terumbu serta palung-palung yang dalam, kawan-kawan yang bersahabat, aku juga merasa bahwa kehidupan di sini jauh lebih damai. Kalau kau bertemu dengan ikan-ikan buas, tinggallah di sekitar siripnya, kau akan merasa aman. Lagi pula ikan-ikan itu hanya menjadi pemburu di saat kebutuhan untuk hidup menuntut. Sesudahnya mereka adalah makhluk jinak yang baik hati. Bayangkan, aku pernah hidup di sekitar mulutnya, toh ia tidak juga memangsaku. Jadi perihal dimangsa atau tidak dimangsa, di kedalaman sini sangat tergantung dari sejauh mana kebutuhan kebutuhan untuk hidup itu menuntut.

Aku tidak mengerti duniamu. Dari ingatan yang samar-samar, aku cuma tahu sering kali keserakahan membuat manusia hancur, sering kali kegilaan terhadap kekuasaan membuat makhluk sesamamu lupa daratan. Mereka seakan hidup melayang. Dan ujung-ujungnya mengecilkan keberadaan yang lain. Celakanya, kalau itu kemudian meremehkan dunia di mana harusnya dia hidup dan berpijak.

Aku tak tahu apakah orang-orang macam ini mampu bertrahan jika diberi pilihan hidup seperti diriku, makhluk rendahan yang tak mampu berpikir apalagi berkata-kata. Ceritaku dalam surat-surat itu sebagian mungkin berisikan kenangan-kenangan ketika aku hidup di daratan dulu. Itu semacam siasat agar aku tak sepenuhnya lupa. Mungkin sekadar latihan ingatan, jika kupikir tak ada sesuatu yang lebih penting untuk dikerjakan di sini.

***

Sesungguhnya kekasih, itulah caraku mengingatmu setiap waktu. Isyarat-isyarat yang kukirim semacam kail untuk merasakan harum daratan. Karena hanya dengan begitu seluruh masa lalu melumuri tubuhku. Ah, indahnya hidup di masa lalu, ketika jalan-jalan kampung belum diaspal, pohon-pohon belum ditebang, sungai-sungai belum tercemar, rumah-rumah belum kumuh, kendaraan-kendaraan belum mengotori udara, dan mal-mal belum menyedot uang kita.

Apakah kau masih menyimpan keindahan itu kekasih? Apakah kenyataan sudah jauh dari kenangan? Aku tahu kau pasti tak akan menjawab seluruh pertanyaanku. Karena kau berada jauh dari pikiranku. Tetapi nanti di saat laut surut aku akan ada di laguna-laguna. Mungkin kita bisa bertemu kekasih. Tak usah membawa bunga atau anggur dalam pertemuan kita nanti. Cukup datang dalam kedamaian hati dan perasaan bersahabat yang dalam. Mungkin itulah bekalku nanti mengembara di kedalaman, melintas palung dan celah karang. Salam kepada sanak kerabat yang masih mengingatku, meski dalam wujud yang jauh dari sempurna ini...


Yogyakarta, 2006
Kompas, Minggu 3 September 2006